Sebelum bercerita, saya ingin menyampaikan bahwa ini bukan tulisan
tentang pornografi. Ini adalah cerita tentang satu budaya unik di Jepang
yang siang (1/4) saya saksikan di Kuil Kanamaya, Kawasaki.
Budaya tersebut adalah Festival Kanamara. Festival ini membutuhkan
“open mind” atau pikiran yang terbuka dari para pengunjungnya. Tanpa
keterbukaan pikiran, bisa jadi kita akan merasa jengah ataupun
tersinggung. Hal itu karena festival Kanamara adalah Festival Penis,
yang mengangkat tema sentral tentang penis.
Festival Kanamara diadakan untuk menyambut musim semi di Jepang, atau
setiap minggu pertama di bulan April. Setelah tahun 2011 lalu festival
ini ditiadakan karena Jepang baru mengalami gempa dan tsunami,
pelaksanaan festival tahun ini ditunggu-tunggu banyak kalangan.
Saat saya tiba di kuil Kanamaya pukul 10 pagi, keramaian sudah
nampak. Para pengunjung, yang sebagian di antaranya adalah turis asing,
sudah memadati area kuil yang sempit dan dipenuhi oleh persiapan parade
serta pedagang aneka jajanan.
Tema sentral festival Kanamara memang berpusat pada penis. Selain
penis, beberapa bentuk vagina (alat kelamin wanita) juga ditampilkan
sebagai penyeimbang.
Bagi orang asing, festival ini nampak “menggelikan” sekaligus membuat
jengah. Tapi bagi orang Jepang ini adalah hal yang standar dan biasa
saja. Festival Penis telah berlangsung selama lebih dari 1000 tahun.
Ini adalah bagian dari ritual Shinto yang dilakukan penduduk Jepang
untuk memberi persembahan pada Dewa Kesuburan dan Fertilitas. Selain
itu, festival ini juga digunakan sebagai doa agar terhindar dari
penyakit menular seksual dan sebagai upaya menggalang dana bagi riset
penyakit HIV.
Di tengah kuil, saya melihat dua buah kuil portable (o-mikoshi)
berbentuk penis berwarna pink dan hitam. Omikoshi ini dipanggul oleh
sekitar 10-12 orang yang berteriak memberi semangat dan menari-nari.
Sebelum kuil o-mikoshi dipanggul, para pendeta Shinto membacakan doa
di depan o-mikoshi tersebut sambil mengharapkan turunnya kesuburan,
kesehatan, dan keberkahan. Setelah doa selesai dibacakan, o-mikoshi
itupun dipanggul keliling daerah perumahan di sekitar kuil Kanamaya.
Selain o-mikoshi, saya melihat aneka ragam benda yang dibuat
berbentuk penis di sekitar kuil. Suasana kuil pada siang itu memang
sangat penis. Ke mana mata saya memandang, di sana ada aneka ragam
penis. Ada permen penis, coklat penis, mainan penis, ukiran penis, dan
beragam patung penis. Penjualan makanan pun memberi tema penis pada
makananya, seperti satu kios takoyaki yang memasang spanduk “penis
energy ball”.
Hal yang menarik adalah bahwa orang-orang Jepang berlaku normal
dengan beragam pernak pernik penis. Ada seorang nenek yang dengan
tenangnya menjilati permen berbentuk penis, seorang anak muda wanita
memegang hiasan penis, dan bahkan anak-anak mencicipi manisan penis.
Penis dianggap melambangkan alat kelamin pria, yang menjadi simbol
kesuburan, energi generatif, lambang reproduksi, dan simbol Ayah. Secara
filosofis, pemujaan terhadap penis (phallic worship) adalah tradisi
kaum politeis yang tujuannya secara total adalah representasi miniatur
pada energi dan ketakjuban pada proses penciptaan manusia.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, tradisi memuja penis juga
pernah ada. Sebagai bagian dari sejarah animisme dan dinamisme,
masyarakat Indonesia dahulu mengenal isilah Lingga dan Yoni. Saya pernah
ke beberapa candi di Yogyakarta dan melihat banyak sekali lambang
lingga dan yoni di sana. Berbagai artifak mengenai lingga dan yoni juga
masih bisa disaksikan saat ini.
Lingga adalah representasi alat kelamin pria yang dilambangkan dengan
tiang atau tonggak, bisa berbentuk persegi atau silinder. Sementara
yoni adalah representasi alat kelamin wanita, yang dilambangkan sebuah
wadah yang berbentuk persegi atau lingkaran yang memiliki pancuran.
Di agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, makna lingga dan
yoni disempurnakan, dibedakan, dan dilembagakan. Islam menganggap
masalah reproduksi sebagai sebuah hal sakral. Proses penciptaan manusia,
menurut Islam, adalah proses yang paling “complicated” dibanding
penciptaan lainnya.
Festival Kanamara mengingatkan kita akan pentingnya proses reproduksi
yang baik dan sehat. Kita juga diingatkan tentang kemahabesaran Tuhan
akan proses penciptaan dan reproduksi manusia.
Di Jepang sendiri, festival kanamara ini sangat tepat momentumnya
dilaksanakan. Jepang saat ini sedang mengalami masalah demografi berupa
merosotnya penduduk, karena banyak penduduknya yang enggan memiliki
anak. Akibatnya, jumlah penduduk Jepang diperkirakan hanya tinggal
sepertiga dari sekarang pada tahun 2060, dan terus menurun di masa
depan. Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai kebijakan untuk
mendorong warga Jepang memiliki anak.
Lain padang lain belalang, lain negeri lain budayanya. Tentu saja
festival sejenis ini tidak bisa dilakukan di negeri kita. Bisa-bisa
nanti malah digrebek yaa.
Salam dari Tokyo.