Senin, 14 Mei 2012
Festival Kanamara (festival p*n*s)
Budaya tersebut adalah Festival Kanamara. Festival ini membutuhkan “open mind” atau pikiran yang terbuka dari para pengunjungnya. Tanpa keterbukaan pikiran, bisa jadi kita akan merasa jengah ataupun tersinggung. Hal itu karena festival Kanamara adalah Festival Penis, yang mengangkat tema sentral tentang penis.
Festival Kanamara diadakan untuk menyambut musim semi di Jepang, atau setiap minggu pertama di bulan April. Setelah tahun 2011 lalu festival ini ditiadakan karena Jepang baru mengalami gempa dan tsunami, pelaksanaan festival tahun ini ditunggu-tunggu banyak kalangan.
Saat saya tiba di kuil Kanamaya pukul 10 pagi, keramaian sudah nampak. Para pengunjung, yang sebagian di antaranya adalah turis asing, sudah memadati area kuil yang sempit dan dipenuhi oleh persiapan parade serta pedagang aneka jajanan.
Tema sentral festival Kanamara memang berpusat pada penis. Selain penis, beberapa bentuk vagina (alat kelamin wanita) juga ditampilkan sebagai penyeimbang.
Bagi orang asing, festival ini nampak “menggelikan” sekaligus membuat jengah. Tapi bagi orang Jepang ini adalah hal yang standar dan biasa saja. Festival Penis telah berlangsung selama lebih dari 1000 tahun. Ini adalah bagian dari ritual Shinto yang dilakukan penduduk Jepang untuk memberi persembahan pada Dewa Kesuburan dan Fertilitas. Selain itu, festival ini juga digunakan sebagai doa agar terhindar dari penyakit menular seksual dan sebagai upaya menggalang dana bagi riset penyakit HIV.
Di tengah kuil, saya melihat dua buah kuil portable (o-mikoshi) berbentuk penis berwarna pink dan hitam. Omikoshi ini dipanggul oleh sekitar 10-12 orang yang berteriak memberi semangat dan menari-nari.
Sebelum kuil o-mikoshi dipanggul, para pendeta Shinto membacakan doa di depan o-mikoshi tersebut sambil mengharapkan turunnya kesuburan, kesehatan, dan keberkahan. Setelah doa selesai dibacakan, o-mikoshi itupun dipanggul keliling daerah perumahan di sekitar kuil Kanamaya.
Selain o-mikoshi, saya melihat aneka ragam benda yang dibuat berbentuk penis di sekitar kuil. Suasana kuil pada siang itu memang sangat penis. Ke mana mata saya memandang, di sana ada aneka ragam penis. Ada permen penis, coklat penis, mainan penis, ukiran penis, dan beragam patung penis. Penjualan makanan pun memberi tema penis pada makananya, seperti satu kios takoyaki yang memasang spanduk “penis energy ball”.
Hal yang menarik adalah bahwa orang-orang Jepang berlaku normal dengan beragam pernak pernik penis. Ada seorang nenek yang dengan tenangnya menjilati permen berbentuk penis, seorang anak muda wanita memegang hiasan penis, dan bahkan anak-anak mencicipi manisan penis.
Penis dianggap melambangkan alat kelamin pria, yang menjadi simbol kesuburan, energi generatif, lambang reproduksi, dan simbol Ayah. Secara filosofis, pemujaan terhadap penis (phallic worship) adalah tradisi kaum politeis yang tujuannya secara total adalah representasi miniatur pada energi dan ketakjuban pada proses penciptaan manusia.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, tradisi memuja penis juga pernah ada. Sebagai bagian dari sejarah animisme dan dinamisme, masyarakat Indonesia dahulu mengenal isilah Lingga dan Yoni. Saya pernah ke beberapa candi di Yogyakarta dan melihat banyak sekali lambang lingga dan yoni di sana. Berbagai artifak mengenai lingga dan yoni juga masih bisa disaksikan saat ini.
Lingga adalah representasi alat kelamin pria yang dilambangkan dengan tiang atau tonggak, bisa berbentuk persegi atau silinder. Sementara yoni adalah representasi alat kelamin wanita, yang dilambangkan sebuah wadah yang berbentuk persegi atau lingkaran yang memiliki pancuran.
Di agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, makna lingga dan yoni disempurnakan, dibedakan, dan dilembagakan. Islam menganggap masalah reproduksi sebagai sebuah hal sakral. Proses penciptaan manusia, menurut Islam, adalah proses yang paling “complicated” dibanding penciptaan lainnya.
Festival Kanamara mengingatkan kita akan pentingnya proses reproduksi yang baik dan sehat. Kita juga diingatkan tentang kemahabesaran Tuhan akan proses penciptaan dan reproduksi manusia.
Di Jepang sendiri, festival kanamara ini sangat tepat momentumnya dilaksanakan. Jepang saat ini sedang mengalami masalah demografi berupa merosotnya penduduk, karena banyak penduduknya yang enggan memiliki anak. Akibatnya, jumlah penduduk Jepang diperkirakan hanya tinggal sepertiga dari sekarang pada tahun 2060, dan terus menurun di masa depan. Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong warga Jepang memiliki anak.
Lain padang lain belalang, lain negeri lain budayanya. Tentu saja festival sejenis ini tidak bisa dilakukan di negeri kita. Bisa-bisa nanti malah digrebek yaa.
Salam dari Tokyo.